JAKARTA (Suara Karya) Pemberlakuan kawasan perdagangan bebas China dan ASEAN (China-ASEAN Free Trade Area/ CAFTA) hanya akan meningkatkan ketergantungan Indonesia pada barang impor.
Dampak pemberlakuan CAFTA juga akan menggilas basis perekonomian Indonesia, yakni pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya di sektor produksi.Demikian dikatakan ekonom UGM Ichsanuddin Noorsy dan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa secara terpisah di Jakarta, Senin (8/3). Turut mengomentari masalah dampak pemberlakuan CAFTA terhadap UMKM ini Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian Fauzi Aziz.
Ichsanuddin Noorsy mengatakan, serangan produk impor asal China akan menjadikan Indonesia makin terpuruk di masa mendatang. Kebangkrutan industri manufaktur, khususnya skala UMKM, akan menjadi kenyataan yang dapat dilihat akibat diberlakukannya CAFTA sejak awal 2010 lalu. Produk UMKM seperti garmen, makanan, dan minuman olahan, serta produk konsumsi lainnya akan tergilas produk impor asal China yang jauh lebih murah dan berkualitas."Jangan pernah berharap untuk memenangi peperangan dagang dengan China. Sebab, jika diukur dari segi mana pun, Indonesia belum siap, khususnya industri dan UMKM. Kebijakan Pemerintah China selama ini memang menguntungkan dunia usahanya untuk meningkatkan daya saing. Termasuk UKM-UKM di China yang sudah menggunakan teknologi canggih dan difasilitasi penuh oleh pemerintahnya," kata Ichsanuddin yang juga pengamat kebijakan publik.
Selama ini, atau sebelum diberlakukannya CAFTA, kalangan UMKM berjuang sendiri untuk mengisi pangsa pasar dalam negeri yang sebenarnya sudah dibanjiri produk China. Namun, eksistensi produk UMKM di pasar dalam negeri terus tergerus seiring dengan meningkatnya arus barang impor dari China."Pelaku UMKM jangan berharap kebijakan yang menguntungkan dari pemerintah. Apalagi pemerintah yang mempunyai pemikiran liberal. Karena itu, pelaku usaha, khususnya UMKM memang ditakdirkan untuk terus-menerus berjuang sendiri," ucapnya.Maraknya produk China dengan kualitas baik dan harga terjangkau ini, lanjutnya, sudah menjadikan masyarakat konsumen mengalami ketergantungan. Jika dibiarkan, tingkat ketergantungan konsumen atas produk China ini akan terus meningkat, sementara di sisi lain industri nasional dan pelaku UMKM sudah gulung tikar.
Akibatnya, posisi tawar produk China terus tinggi. Bahkan menguat seiring diberlakukannya CAFTA. Tentunya kondisi ini sangat disukai oleh pihak China dan di ASEAN ada Singapura yang memang tidak ingin Indonesia maju. Singapura senang jika basis ekonomi Indonesia, yakni UMKM, terpuruk dan hilang di telan zaman," ucap Noorsy.Lebih jauh dia menjelaskan, pengarahan pada peningkatan ketergantungan terhadap barang impor yang dilakukan pemerintah saat ini, akibat tidak adanya kedaulatan ekonomi dari kebijakan yang ada. Hilangnya kedaulatan moneter dan banyaknya pengkhianat yang mengaku nasionalis justru menjatuhkan perekonomian bangsa sendiri.adi jangan salahkan bangsa atau orang lain jika perekonomian Indonesia di obok-obok lewat pasar bebas. Kebijakan neoliberal adalah bentuk nyata dari awal kehancuran perekonomian nasional," tuturnya.
Sementara itu, Erwin Aksa mengatakan, Indonesia saat ini berada di persimpangan antara kejayaan atau kemunduran di bidang perekonomian. Kian lama, Indonesia hanya dimanfaatkan oleh globalisasi dan ini ditandai dengan kemandirian yang semakin tergerus.Dalam hal ini, Indonesia tidak memunyai banyak waktu untuk menentukan pilihan. Padahal begitu banyak yang perlu segera dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dalam globalisasi, khususnya dalam hal daya saing perekonomian, efektivitas pemerintahan, dan pemerataan tingkat kesejahteraan masyarakat Peningkatan daya saing merupakan kebutuhan yang harus segera dipenuhi, khususnya untuk produk industri manufaktur serta UMKM. "Selama ini biaya produksi UMKM, bunga untuk UMKM, seharusnya tidak lebih dari 18 persen. Tapi, sekarang masih 22 persen. Bagaimana produk UMKM bisa bersaing dengan barang impor dari China," katanya.
Dengan turunnya suku bunga perbankan, maka diharapkan kegiatan UMKM bisa semakin cepat tumbuh dan kontribusi terhadap perekonomian nasional juga meningkat Apalagi kontribusi UMKM tahun lalu sekitar 45 persen (Rp 2.000 triliun) ctan tahun 2010 ini seharusnya bisa mencapai Rp 3.000 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB). Untuk itu, perbankan diharapkan bisa membuka akses lebih terhadap pengusaha UMKM agar pertumbuhannya dapat lebih besar.Di tempat terpisah, Dirjen IKM Kementerian Perindustrian Fauzi Aziz mengatakan, seiring pemberlakukan CAFTA, produk UMKM, khususnya sektor produksi (industri), harus bisa memenuhi standar dan tingkat presisi yang ditetapkan. Tentunya ini tidak bisa terlepas dari penggunaan teknologi mutakhir dalam permesinannya.Menurut dia, dengan dukungan teknologi dan permesinan yang memadai, maka UMKM bisa memproses pengolahan produk lebih efisien. Untuk itu, diperlukan dukungan secara komprehensif dari lintas-kementerian/ lembaga
negara serta BUMN untuk membina UMKM menjadi produsen yang andal. Tentunya bisa menciptakan produk yang murah dan berkualitas sehingga bisa bersaing dengan produk impor Yang penting, kita bicara keterkaitan antarinstansi atau pihak terkait Ini karena kita bicara masalah standar, presisi, dan teknologi yang diusung UMKM. Ini yang harus dibangun dan dikembangkan. Memang harus ada revitalisasi yang selektif untuk UMKM, namun pembinaannya dilakukan secara komprehensif mulai dari pembiayaan, proses produksi hingga pemasaran. UMKM di sektor agroindustri, produk tekstil, serta makanan dan minuman akan bisa bersaing jika dibina dengan baik," ucapnya.(Aiulrian/Btyu)
SUMBER: bataviase.co.id
Jumat, 26 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar