Jumat, 26 Maret 2010

CAFTA sebagai Momentum Introspeksi Nasional

Sejak diberlakukan Januari 2010, China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) menuai protes dari banyak kalangan di Indonesia, Pengusaha dan bahkaln kalangan aktivis pergerakan dan LSM. Berbagai data dan fakta tentang kerugian yang akan dialami ekonomi nasional dikemukakan untuk mendesak pemerintah melakukan negosiasi ulang terkait kesepakatan perdagangan bebas tersebut.

Kritik masyarakat memang sangat wajar, mengingat CAFTA pasti akan bardampak sangat luas terhadap perekonomian. Jauh sebelum kebijakan ini diberlakukan produk-produk China telah membanjiri pasar Indonesia. barang-barang yang terkenal sangat murah dengan kualitas yang tidak jauh berbebeda dengan produk dari negara lain semakin mendominasi pasar dalam negeri dalam beberapa tahun belakangan. Apalagi jika dibandingkan dengan produk nasional, barang-barang asal China kualitasnya jauh lebih baik hampir dipastikan akan menggusur produk-produk nasional.

Hampir tidak ada argumentasi yang manyatakan Bahwa CAFTA akan menguntungkan Indonesia, kecuali dari kalangan pemerintah yang selalu mencari pembenaran atas kebijakan yang sudah terlanjur disepakati. Pemerintah mencoba meyakinkan masyarakat bahwa China sebagai sebuah negara dengan populasi penduduk terbesar di Dunia saat ini dan merupakan pasar yang potensial. Tetapi public megetahui bahwa untuk meraih pasar di negara tersebut adalah sangat sulit. Jangankan Indonesia, Jepang, AS dan Uni Eropa yang selama setengah abad menjadi pelaku utama ekonomi dunia, kini mengalami deficit perdagangan dengan China.

Berbagai analis menyimpulkan bahwa Free Trade Area ASEAN hanya akan menjadi penyatuan pasar bagi China, setelah sebelumnya berhasil melakukan ekspansi dagang di negara-negara yang menjadi saingan terkuatnya. Khusus Indonesia, sebagai negara paling terbelakang dalam hal industrialisasi dibandingkan dengan tetangganya dekatnya yang lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Philipina yang selangkah lebih maju, tentu akan menjadi sasaran paling empuk. Apalagi didukung daya serap pasar Indonesia yang cukup besar, setara dengan penggabungan seluruh negara ASEAN lainnya, pemerintah China akan mengerahkan segenap daya dan upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar utama di kawasan ASEAN.

Dijejali dengan Utang dari China

China memang sangat diuntungkan oleh CAFTA terutama terkait potensi yang dimiliki Indonesia. Bayangkan tanpa harus bersusah payah mendorong perubahan regulasi di Indonesia, China telah dapat memperoleh manfaat atas berbagai produk perundang-undangan yang sangat pro pasar.

Sejak reformasi, Indonesia telah mengubah banyak sekali UU yang dianggap menghambat arus investasi dan perdagangan. Dimulai dengan amandemen terhadap UUD 1945, lahirlah berbagai UU yang diperlukan dalam rangka privatisasi, deregulasi dan liberalisasi. Proses lahirnya UU tersebut dibiayai dengan pinjaman luar negeri dari World Bank dan Asian Development Bank. Kita tahu bahwa kedua lembaga keuangan multilateral tersebut bekerja untuk kepentingan negara maju seperti AS, Jepang dan Uni Eropa.

Suka-atau tidak suka pemeritah China memetik manfaat paling besar dari CAFTA. Apalagi saat ini saingan dagang utama seperti Jepang, AS dan Uni Eropa tengah terpuruk dihantam badai krisis keuangan global. Banyaknya Industri keuangan dan manufactur di negara-negara tersebut yang gulung tikar, sehingga akan semakin memudahkan bagi China memenangkan persaingan dagang di dunia dan khususnya ASEAN.

Untuk mengambil simpati pengambil kebijakan di Indonesia, China menjanjikan berbagai imbal dagang atas disepakatnya CAFTA. Pemerintah China telah menyepakati komitmen utang yang sangat besar bagi Indonesia untuk pembangunan infrastrukur, jalan, jembatan, pembangunan pembangkit listrik 10 ribu MW dan berbagai proyek utang lainnya.

Berbagai proyek pembangunan di Indonesia juga didanani pemerntah China seperti Proyek Cirebon Kroya Double Track Railway, PLTU Labuhan Angin 2 x 115 Mw, Proyek Jembatan Nasional Suramadu, Proyek Waduk Jatigede Cirebon, Jawa Barat serta proyek PLTU Parit Baru di Kalimantan Barat.

Pemerintah China juga berkomitmen memberikan pinjaman dalam rangka menguatkan cadangan devisa Indonesia. Pinjaman yang satu ini uangnya tetap di China, pemerintah Indonesia dapat mencairkannya sewaktu-waktu jika terjadi masalah dalam cadangan devisa negara.

Selain itu pemerintah China juga berjanji akan mendorong perusahaan nasonalnya untuk berinvestasi di Indonesia, khususnya dalam eksploitasi sumber daya alam tambang, migas dan ekstraktif industri lainnya. Gas, batubara dan bahan tambang sangat diperlukan oleh negara tersebut untuk terus memperkuat industrinya.

Akan tetapi, Lagi-lagi Indonesia akan menjadi korban. Komitmen utang akan semakin menjerat negara ini dalam jebakan hutang yang semakin dalam yang harus ditanggung oleh anak cucu di masa yang akan datang. Sama seperti utang luar negeri dari negara lainnya yang tidak hanya berbentuk uang tapi juga berbentuk barang. China dapat menjual barang-barangnya ke Indonesia melalui utang dan sekaligus mendapatkan bunga yang tinggi.

Ekonomi Indonesia akan semakin di dominasi oleh investasi asing. Saat ini secara akumulatif, China merupakan negara penanam modal terbesar nomor 5 di Indonesia dengan nilai US$ 8 miliar. Beberapa perusahaan RRT seperti China National Offshore Oli Corporation (CNOOC), Petro China, Alcatel Shanghai, CITIC, Haier, KONKA, Huawei Technology, ZTE Corporation, dan China Railways Engineering Corporation dan lain sebagainya telah menanamkan modalnya di Indonesia.

Tidak hanya itu, sumber daya alam Indonesia akan semakin terkuras oleh investasi asal China. Sebagai contoh supply LNG dari Tangguh Indonesia bagi Provinsi Fujian sebesar 2,6 juta ton/tahun akan berlangsung selama 25 tahun dengan harga jual dibawah rata-rata harga pasar. Keadaan ini akan semakin memperparah krisis energi yang saat ini menjadi masalah utama yang dihadapi rakyat Indonesia.

Benahi Kondisi Internal

Masalah terbesar Indonesia adalah buruknya konstitusi dan aturan main di dalam negeri yang kurang berpihak pada kepentingan penguatan ekonomi nasional. Ketidak sanggupan untuk untuk menjalin kerjasama perdagangan bebas dengan negara lain, adalah situasi akumulatif akibat kesalahan kebijakan pembangunan ekonomi selama puluhan tahun.

Jauh sebelum CAFTA dijalankan posisi Indonesia dalam mata rantai perdagangan global tidak lebih dari penyedia bahan mentah. Kegiatan ekonomi termasuk di dalamnya ekstraksi sumber daya alam sepenuhnya dikontrol oleh modal asing. Sementara pada saat yang sama anggaran penyelenggaraan pemerintahan ditopang secara terus menerus oleh hutang luar negeri yang besar. Keadaan ini terus berlanjut dan sulit diputuskan rantai historisnya hingga saat ini.

CAFTA adalah perjanjian yang sangat komprehenshif, yang tidak hanya menyangkut perdagangan barang, akan tetapi juga aliran investasi, membanjirnya tenaga kerja asing dan juga hutang luar negeri. Kesemuanya merupakan masalah pokok ekonomi Indonesia dewasa ini. Sehingga kesepakatan perdagangan bebas CAFTA tidak hanya akan meningkatkan penguasaan pasar oleh korporasi besar luar negeri, akan tetapi juga dominasi investasi asing, tergantikannya buruh nasional dengan pekerja asing dan jeratan hutang luar negeri yang semakin dalam.

Dampak dari CAFTA tidak hanya semata-mata berkaitan dengan defisit dalam neraca pedagangan akan tetapi jauh lebih mendalam menyangkut nasib pekerja dan kaum miskin. Kesepakatan ini akan berimplikasi langsung terhadap bangkrutnya usaha kecil dan menengah yang notabene merupakan tempat dimana sebagian besar rakyat pekerja menggantungkan kehidupan mereka.

Saat ini lebih dari 30 juta jiwa menggantungkan hidupanya pada kegiatan usaha skala kecil dan mikro yang akan menjadi korban pertama dari perjanjian perdagangan bebas. Dapat dipastikan bahwa usaha-usaha rakyat tersebut akan tergusur oleh masuknya barang dan investasi dari luar negeri.

Ditengah phenomena de industrialisasi, CAFTA berpotensi menciptakan pengangguran yang semakin luas. Gempuran produk impor dan masuknya investasi asing akan menggusur usaha-usaha di sector formal baik industri, jasa dan perdagangan dalam negeri. Padahal dari 104,4 juta jiwa yang dikalim pemerintah sebagai orang yang bekerja, hanya sebagian kecil yang bekerja di sector formal. Jumlanya tidak lebih dari 28,9 juta jiwa, selebihnya berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja keluarga/tak dibayar dll.

Selain itu, CAFTA akan meningktakan penguasaan sumber daya alam oleh modal asing dari China baik itu tambang, migas dan perkebunan. Saat ini saja China telah menjadi pemain utama dala kegiatan investasi di sector migas dan mineral. Investasi asal China telah menjadi pelaku utama dalam kegiatan ekstraksi dan ekspor sumber daya alam dari Indonesia.

Pada situasi semacam ini, pemerintah tidak boleh mencari legitimasi dengan mengatakan bahwa perdagangan bebas tidak dapat ditolak. Pemerintah perlu melakukan pembenahan secara total kondisi di dalam negeri. Peraturan perundang-undangan tentang investasi, perdagangan dan keuangan harus direvisi kembali. Karena konstitusi itulah yang menjadi penyebab utama terpuruknya perekonomian nasional dan ketidaksiapan untuk terlibat dalam percaturan ekonomi global.

Yang perlu disadari adalah setiap negara dan pemerintahan bekerja untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya, Jangan sampai bangsa ini kembali menjadi lahan jarahan dari bangsa lain sebagaimana yang terjadi pada masa kolonialisme dulu. Haluan ekonomi nasional harus diselaraskan dengan cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi UUD 1945 yang asli. Hanya dengan cara itu bangsa ini dapat setara dengan bangsa lain dalam kerjasama apapun.

http://www.globaljust.org/index.php?option=com_content&task=view&id=384&Itemid=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar